![]() |
| Ilustrasi Pemilu 1955. LIFE/Howard Sochurek / https://tirto.id/sejarah-politik-masa-demokrasi-liberal-pemerintahan-dan-kepartaian-gntU#google_vignette |
A. Kehidupan Politik
Era Demokrasi Liberal dimulai dengan berlakunya UUD Sementara 1950, yang menetapkan sistem parlementer. Presiden hanya berfungsi sebagai kepala negara, sementara kekuasaan eksekutif dijalankan oleh Perdana Menteri dan kabinet yang bertanggung jawab kepada DPR.
Namun, sistem ini menghadapi masalah serius akibat fragmentasi politik. Terdapat lebih dari 30 partai politik, dengan empat partai dominan: PNI, Masyumi, NU, dan PKI. Karena tidak ada partai mayoritas, kabinet dibangun atas dasar koalisi, tetapi mudah pecah karena perbedaan ideologi. Dalam 9 tahun, terjadi 7 kali pergantian kabinet (Natsir, Sukiman, Wilopo, Ali I, Burhanuddin Harahap, Ali II, dan Djuanda), yang menyebabkan program pemerintahan tidak konsisten.
Meski begitu, capaian penting masa ini adalah Pemilu 1955, pemilu demokratis pertama di Indonesia dengan partisipasi luas. Hasilnya: PNI (22,3%), Masyumi (20,9%), NU (18,4%), PKI (16,4%). Namun, hasil pemilu tidak membawa stabilitas karena partai tetap bersaing ketat dan Konstituante gagal menyusun UUD baru.
Situasi makin kompleks dengan pemberontakan daerah seperti DI/TII, RMS, PRRI, dan Permesta. Kondisi ini memperlihatkan kelemahan sistem parlementer dalam menghadapi dinamika politik Indonesia. Akhirnya, Soekarno mengeluarkan Dekrit Presiden 5 Juli 1959 yang membubarkan Konstituante dan memberlakukan kembali UUD 1945.
Fakta Kunci:
-
7 kabinet jatuh dalam 9 tahun.
-
Pemilu 1955 → pemilu paling demokratis sebelum 1999.
-
4 partai utama: PNI, Masyumi, NU, PKI.
-
Pemberontakan daerah memperburuk stabilitas.
-
Berakhir dengan Dekrit Presiden 1959.
B. Kehidupan Ekonomi
Perekonomian Indonesia masa Demokrasi Liberal mengalami krisis berat. Warisan kolonial membuat ekonomi bergantung pada ekspor bahan mentah, sementara inflasi tinggi melanda sejak awal 1950-an.
Untuk menanggulangi, pemerintah mengeluarkan beberapa kebijakan. Gunting Syafruddin (1950) memotong nilai uang Rp2,50 ke atas menjadi setengah untuk mengurangi inflasi. Kebijakan ini efektif menekan defisit anggaran, tetapi memberatkan rakyat kecil. Program Ekonomi Benteng diluncurkan untuk mendukung pengusaha pribumi, namun gagal karena kurang pengalaman dan praktik korupsi. Program Ali-Baba juga tidak berhasil optimal karena hubungan pengusaha pribumi dan Tionghoa sering tidak seimbang.
Langkah penting lain adalah nasionalisasi De Javasche Bank (1951) menjadi Bank Indonesia, yang menjadi simbol kedaulatan ekonomi nasional. Namun, instabilitas politik, jatuh bangunnya kabinet, dan pemberontakan daerah menghambat keberhasilan ekonomi. Inflasi tetap tinggi dan harga kebutuhan pokok sulit dijangkau masyarakat.
Secara keseluruhan, kondisi ekonomi masa Demokrasi Liberal masih lemah. Meskipun ada langkah menuju kemandirian ekonomi, ketidakstabilan politik membuat kebijakan ekonomi tidak berkelanjutan.
Fakta Kunci:
-
Inflasi tinggi, defisit anggaran.
-
Gunting Syafruddin (1950) → nilai uang dipotong 50%.
-
Program Benteng & Ali-Baba gagal.
-
Nasionalisasi De Javasche Bank (1951) → Bank Indonesia.
-
Ekonomi tetap sulit, rakyat kecil paling terdampak.





